Sejarah Perkembangan E-learning
Share
E-learning atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illionis di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruktion) dan komputer bernama PLATO. Sejak saat itu, perkembangan e-learning berkembang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. Berikut perkembangan e-learning dari masa ke masa :
* Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan Audio) DALAM FORMAT
mov, mpeg-1, atau avi.
* Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara masal.
* Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, IEEE LOM, ARIADNE, dsb.
* Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia, video streaming serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar dan berukuran kecil.
Melihat perkembangan e-learning dari dari masa ke masa yang terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi, maka dapat disimpulkan bahwa e-learning akan menjadi sistem pemblajaran masa depan. Alasan efektifitas dan fleksibilitas akan menjadi alasan utama.
Ada perasaan besar saat gw berada di puncak... puncak yang dulu gw kira nggak mungkin di capai, sekarang udah jadi mainan sehari hari... nggak gampang memang, tapi gw yakin karena gw selalu mencoba setiap kesempatan yang ada... dan gw akan terus mencoba sampai gw mendarat di puncak tertinggi...
Minggu
HR Berubah, Siapa Peduli?
"Selera orang HRD memang aneh," demikian komentar yang kerap terdengar setiap kali ada karyawan baru muncul di kantor. Tentu saja komentar semacam itu muncul dari bibir karyawan lama yang merasa bahwa si pendatang baru itu tidak meyakinkan, atau berpenampilan yang kurang sesuai dengan "budaya" perusahaan.
Bukan cerita baru kalau HRD merupakan bagian yang paling sering menjadi bahan olok-olokan di tempat kerja. Sinetron OB (Office Boy) yang sukses di RCTI bahkan telah membuat olok-olok itu keluar dari batas dinding perusahaan dan menjadi wacana publik. Dalam sinetron komedi itu, HRD sebuah stasiun TV menjadi setting cerita dengan tokoh-tokoh utama para penghuninya, dari direktur, staf hingga OB.
Kelucuan dibangun dari tingkah konyol mereka: Direktur HR Pak Taka yang dingin dan galak, dua staf utama yang selalu bermusuhan bagai anjing dan kucing --yang satu dicitrakan sebagai bujang lapuk sehingga sering diledek sebagai penyuka sesama jenis; sedangkan yang satunya lagi bertingkah playboy kecakepan dan tengil. Satu lagi: sekretaris yang centil, manja dan kerjaannya hanya mengecat kuku serta menelpon mantan-mantan pacarnya.
Pendek kata, sinetron itu telah menguatkan stereotip karikatural citra HR selama ini di mata karyawan atau unit lain dalam sebuah perusahaan. Kalau Anda direktur atau manajer HR, atau staf di departemen tersebut, pastilah sulit untuk tertawa melihat sinetron itu, karena akan sama artinya dengan menertawakan diri sendiri. Kecuali, maaf, Anda tidak sekritis itu, dan menganggap sinetron itu semata lelucon yang tidak berdiri di atas keterpurukan citra sebuah kelompok yang selama ini dianggap marginal dalam perusahaan.
Apa yang dilukiskan oleh sinetron itu, tentu saja kontraproduktif terhadap usaha sekelompok praktisi dan akademi HR di luar sana yang dengan keras meyakinkan dunia bahwa paradigma HR sudah berubah. Bahwa HR sudah tidak seperti dulu lagi: duduk di pinggir arena bisnis, memegang CV sampai tangan bengkak, memelototi lamaran sampai mata jereng. Atau, tukang semprit bagi karyawan yang telat datang ke kantor, tukang ngitung absen dan mengurusi cuti karyawan.
Cerita seperti itu sudah lewat. Lihat, kami sekarang adalah mitra bisnis yang sejajar dengan unit-unit lain dalam perusahaan. Kami juga ikut berperan aktif mendampingi CEO dan manajer-manajer lain dalam mencapai tujuan perusahaan. Bahkan, banyak di antara kami yang mulai menaggalkan nama human resource, dan berganti menjadi human capital. Keren, bukan?
Masalahnya, sejauh mana perubahan itu bergema di luar sana? Apakah masyarakat luas peduli dengan perubahan itu? Di sinetron, orang hanya melihat direktur HR yang punya kegemaran menghukum push up stafnya, dan tak henti-henti merayu sekretarisnya dengan gaya seorang pecundang tua yang mesum. Siapa yang bertanggung jawab untuk menyiarkan kepada masyarakat bahwa HR sudah berubah? Kalau masyarakat memahami dunia HR lewat potret komikal dari sinetron, sehingga menganggap bahwa dari dulu HR yang memang begitu, siapa yang (harus di)salah(kan)?
Belum lama ini saya menghadiri Human Resources Expo 2006 di Hotel Borobudur Jakarta. Saya datang sebagai wartawan dan menjumpai kenyataan yang menyedihkan. Bahwa event sebesar itu, yang kalau dilihat dari pesertanya yang hadir dari berbagai pelosok Indonesia, tergolong berskala nasional, tidak mengundang pers untuk meliput. Saya jadi paham mengapa perubahan paradigma HR yang dibangga-banggakan oleh orang HR tak cukup bergema di kalangan non-HR. Sebab, orang HR ternyata tidak (belum) melek media. Sehingga perubahan yang mereka gembar-gemborkan itu tak terkabarkan ke masyarakat.
Human Resourses Expo 2006 merupakan serangkaian seminar dua hari yang terdiri atas 20 sesi. Sederet pembicara yang kompeten dihadirkan, dan tentu saja seminar itu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang penting bagi kalangan HR, terkait dengan perkembangan praktik HR terkini di Tanah Air. Namun, apapun hasilnya, seberapa pun pentingnya, tak akan ada artinya kalau tidak tersiar ke masyarakat, dan itu sebenarnya sangat dimungkinkan melalui liputan pers.
Atau, jangan-jangan orang HR sendiri tak peduli bahwa perkembangan dunia mereka perlu dikomunikasikan kepada publik yang luas? Pasti tidak begitu. Pasti mereka sadar bahwa perubahan paradigma HR harus melibatkan perhatian semua pihak baik orang HR sendiri maupun masyarakat luas di luar HR. Barangkali selama ini orang HR hanya kurang sadar akan fungsi dan kekuatan media massa dalam mendukung dan terus mendorong perubahan yang telah dan sedang mereka upayakan.
Sinetron OB hanya satu tantangan kecil bagi orang HR untuk membuka mata dunia, dan mengatakan dengan lantang, bahwa "kami sudah berubah". Sudah saatnya orang HR berpikir dan beraksi dengan cara baru. Teruslah gelar seminar dan event-event serupa untuk mensosialisasikan perkembangan HR. Tapi, jangan lupa dekati dan akrabi pers. Libatkan mereka. Bicaralah pada mereka. Agar perubahan paradigma HR bukan hanya jargon yang menghibur diri, tapi menjadi bahan pemikiran dan kepedulian bersama, membuat masyarakat paham dan bersimpati pada isu-isu HR.
Sehingga, tak akan ada lagi gambaran HR sebagai kumpulan orang-orang tua yang kaku, dingin dan suka menghukum. Atau, "berselera aneh" seperti dibilang Emily dalam film Devil Wears Prada.
Oleh: Is Mujiarso (http://www.portalhr.com/tips/2id50.html)
Bukan cerita baru kalau HRD merupakan bagian yang paling sering menjadi bahan olok-olokan di tempat kerja. Sinetron OB (Office Boy) yang sukses di RCTI bahkan telah membuat olok-olok itu keluar dari batas dinding perusahaan dan menjadi wacana publik. Dalam sinetron komedi itu, HRD sebuah stasiun TV menjadi setting cerita dengan tokoh-tokoh utama para penghuninya, dari direktur, staf hingga OB.
Kelucuan dibangun dari tingkah konyol mereka: Direktur HR Pak Taka yang dingin dan galak, dua staf utama yang selalu bermusuhan bagai anjing dan kucing --yang satu dicitrakan sebagai bujang lapuk sehingga sering diledek sebagai penyuka sesama jenis; sedangkan yang satunya lagi bertingkah playboy kecakepan dan tengil. Satu lagi: sekretaris yang centil, manja dan kerjaannya hanya mengecat kuku serta menelpon mantan-mantan pacarnya.
Pendek kata, sinetron itu telah menguatkan stereotip karikatural citra HR selama ini di mata karyawan atau unit lain dalam sebuah perusahaan. Kalau Anda direktur atau manajer HR, atau staf di departemen tersebut, pastilah sulit untuk tertawa melihat sinetron itu, karena akan sama artinya dengan menertawakan diri sendiri. Kecuali, maaf, Anda tidak sekritis itu, dan menganggap sinetron itu semata lelucon yang tidak berdiri di atas keterpurukan citra sebuah kelompok yang selama ini dianggap marginal dalam perusahaan.
Apa yang dilukiskan oleh sinetron itu, tentu saja kontraproduktif terhadap usaha sekelompok praktisi dan akademi HR di luar sana yang dengan keras meyakinkan dunia bahwa paradigma HR sudah berubah. Bahwa HR sudah tidak seperti dulu lagi: duduk di pinggir arena bisnis, memegang CV sampai tangan bengkak, memelototi lamaran sampai mata jereng. Atau, tukang semprit bagi karyawan yang telat datang ke kantor, tukang ngitung absen dan mengurusi cuti karyawan.
Cerita seperti itu sudah lewat. Lihat, kami sekarang adalah mitra bisnis yang sejajar dengan unit-unit lain dalam perusahaan. Kami juga ikut berperan aktif mendampingi CEO dan manajer-manajer lain dalam mencapai tujuan perusahaan. Bahkan, banyak di antara kami yang mulai menaggalkan nama human resource, dan berganti menjadi human capital. Keren, bukan?
Masalahnya, sejauh mana perubahan itu bergema di luar sana? Apakah masyarakat luas peduli dengan perubahan itu? Di sinetron, orang hanya melihat direktur HR yang punya kegemaran menghukum push up stafnya, dan tak henti-henti merayu sekretarisnya dengan gaya seorang pecundang tua yang mesum. Siapa yang bertanggung jawab untuk menyiarkan kepada masyarakat bahwa HR sudah berubah? Kalau masyarakat memahami dunia HR lewat potret komikal dari sinetron, sehingga menganggap bahwa dari dulu HR yang memang begitu, siapa yang (harus di)salah(kan)?
Belum lama ini saya menghadiri Human Resources Expo 2006 di Hotel Borobudur Jakarta. Saya datang sebagai wartawan dan menjumpai kenyataan yang menyedihkan. Bahwa event sebesar itu, yang kalau dilihat dari pesertanya yang hadir dari berbagai pelosok Indonesia, tergolong berskala nasional, tidak mengundang pers untuk meliput. Saya jadi paham mengapa perubahan paradigma HR yang dibangga-banggakan oleh orang HR tak cukup bergema di kalangan non-HR. Sebab, orang HR ternyata tidak (belum) melek media. Sehingga perubahan yang mereka gembar-gemborkan itu tak terkabarkan ke masyarakat.
Human Resourses Expo 2006 merupakan serangkaian seminar dua hari yang terdiri atas 20 sesi. Sederet pembicara yang kompeten dihadirkan, dan tentu saja seminar itu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang penting bagi kalangan HR, terkait dengan perkembangan praktik HR terkini di Tanah Air. Namun, apapun hasilnya, seberapa pun pentingnya, tak akan ada artinya kalau tidak tersiar ke masyarakat, dan itu sebenarnya sangat dimungkinkan melalui liputan pers.
Atau, jangan-jangan orang HR sendiri tak peduli bahwa perkembangan dunia mereka perlu dikomunikasikan kepada publik yang luas? Pasti tidak begitu. Pasti mereka sadar bahwa perubahan paradigma HR harus melibatkan perhatian semua pihak baik orang HR sendiri maupun masyarakat luas di luar HR. Barangkali selama ini orang HR hanya kurang sadar akan fungsi dan kekuatan media massa dalam mendukung dan terus mendorong perubahan yang telah dan sedang mereka upayakan.
Sinetron OB hanya satu tantangan kecil bagi orang HR untuk membuka mata dunia, dan mengatakan dengan lantang, bahwa "kami sudah berubah". Sudah saatnya orang HR berpikir dan beraksi dengan cara baru. Teruslah gelar seminar dan event-event serupa untuk mensosialisasikan perkembangan HR. Tapi, jangan lupa dekati dan akrabi pers. Libatkan mereka. Bicaralah pada mereka. Agar perubahan paradigma HR bukan hanya jargon yang menghibur diri, tapi menjadi bahan pemikiran dan kepedulian bersama, membuat masyarakat paham dan bersimpati pada isu-isu HR.
Sehingga, tak akan ada lagi gambaran HR sebagai kumpulan orang-orang tua yang kaku, dingin dan suka menghukum. Atau, "berselera aneh" seperti dibilang Emily dalam film Devil Wears Prada.
Oleh: Is Mujiarso (http://www.portalhr.com/tips/2id50.html)
Langganan:
Postingan (Atom)